Bahan Tambahan Makanan (BTM) atau food additives adalah senyawa (atau campuran berbagai senyawa) yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan dan terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan dan/atau penyimpanan, dan bukan merupakan bahan (ingredient) utama. BTM dan produk-produk turunannya, biasanya tetap di dalam makanan, tetapi ada beberapa yang sengaja dipisahkan selama proses pengolahan.
Sementara itu pada Undang-undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan khususnya pada Bab II (Kemanan Pangan) Bagian Kedua disebutkan banwa yang dimaksud dengan bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan.
Penggunaan bahan tambahan pangan dalam produk pangan yang tidak mempunyai resiko kesehatan dapat dibenarkan, karena hal tersebut lazim digunakan. BTM yang secara tidak sengaja ditambahkan, atau lebih tepat disebut sebagai kontaminan, tidak termasuk dalam konteks BTM yang dibicarakan.
Penggunaan bahan tambahan pangan dalam produk pangan yang tidak mempunyai resiko kesehatan dapat dibenarkan, karena hal tersebut lazim digunakan. BTM yang secara tidak sengaja ditambahkan, atau lebih tepat disebut sebagai kontaminan, tidak termasuk dalam konteks BTM yang dibicarakan.
Fungsi Food Aditif
Penambahan BTM secara umum bertujuan untuk (1) meningkatkan nilai gizi makanan, (2) memperbaiki nilai sensori makanan, dan (3) memperpanjang umur simpan (shelf life) makanan. Bahan-bahan tambahan seperti vitamin, mineral, atau asam amino biasanya ditambahkan untuk memperbaiki dan/atau menaikkan nilai gizi suatu makanan.
Banyak makanan yang diperkaya atau difortifikasi dengan vitamin untuk mengembalikan vitamin yang hilang selama pengolahan, seperti penambahan vitamin B ke tepung terigu atau penambahan vitamin A ke dalam susu. Mineral besi ditambahkan untuk memperkaya nilai gizi makanan, terutama karena besi yang berada dalam makanan umumnya mempunyai ketersediaan hayati (biovailability) rendah.
Warna, bau, dan konsistensi/tekstur suatu bahan pangan dapat berubah atau berkurang akibat pengolahan dan penyimpanan. Hal ini dapat diperbaiki dengan penambahan BTM seperti pewarna, senyawa pembentuk warna, penegas rasa, pengental, penstabil, dan lain-lain. Pembentukan bau yang menyimpang (off flavor) pada produk-produk berlemak dapat dicegah dengan penambahan antioksidan.
Warna, bau, dan konsistensi/tekstur suatu bahan pangan dapat berubah atau berkurang akibat pengolahan dan penyimpanan. Hal ini dapat diperbaiki dengan penambahan BTM seperti pewarna, senyawa pembentuk warna, penegas rasa, pengental, penstabil, dan lain-lain. Pembentukan bau yang menyimpang (off flavor) pada produk-produk berlemak dapat dicegah dengan penambahan antioksidan.
Tekstur makanan dapat diperbaiki dengan penambahan mineral, pengemulsi, pengental dan/atau penstabil seperti monogliserida, hidrokoloid, dan lain-lain. Pengolahan pangan belakangan ini mempunyai kecenderungan untuk memproduksi makanan yang panjang umur simpannya (awet) dan mudah disajikan (convenient). Hal tersebut didorong oleh faktor-faktor seperti sifat bahan pangan
segar yang umumnya mudah rusak (perishable) dan musiman, serta gaya hidup yang menginginkan segala sesuatunya serba mudah dan cepat. Untuk mendapatkan makanan yang demikian, salah satu usaha yang digunakan adalah dengan menambahkan bahan pengawet, baik untuk mencegah tumbuhnya mikroba maupun untuk mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia yang tidak dikehendaki selama pengolahan dan penyimpanan.
Selain tujuan-tujuan di atas, BTM sering digunakan untuk memproduksi makanan untuk kelompok khusus seperti penderita diabetes, pasien yang baru mengalami operasi, orang-orang yang menjalankan diet rendah kalori atau rendah lemak, dan sebagainya. Berbagai BTM yang digunakan untuk maksud tersebut di antaranya pemanis buatan, pengganti lemak (fat replacer), pengental, dan lain-lain.
Syarat food aditif yang dibolehkan
Dari keterangan di atas, secara implisit di dapat pengertian bahwa BTM dan produk-produk degradasinya harus bersifat tidak berbahaya pada tingkat pemakaian yang diizinkan. Selain itu, pemakaian BTM seyogyanya hanya jika benar-benar dibutuhkan, yaitu jika benar-benar dirasakan terjadi penurunan nilai gizi makanan, perubahan sifat sensori makanan akibat pengolahan atau jika diperlukan untuk membantu pengolahan (processing aid).
Pemakaian BTM umumnya diatur oleh lembaga-lembaga seperti Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM) di Indonesia dan Food and Drug Administration (FDA) di USA. Peraturan mengenai pemakaian BTM berbeda di suatu negara dengan negara lainnya. Meskipun demikian, ada usaha untuk mengharmoniskan peraturan tersebut, terutama berdasarkan penemuan-penemuan terbaru mengenai kemanan BTM yang digunakan. Di Indonesia sendiri, peraturan tentang BTM dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan dan pengawasannya dilakukan oleh Ditjen POM.
Dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa penggunaan BTM dapat dibenarkan apabila (1) dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaannya dalam pengolahan, (2) tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau tidak mememnuhi persyaratan, (3) tidak untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk makanan, dan (4) tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan pangan.