(GERD), gangguan pencernaan akibat naiknya asam lambung ke kerongkongan (esofagus). Karena bergejala sama seperti penyakit jantung, sebagian penderitanya sering panik dan buru-buru ke dokter jantung. Sebagian besar dari mereka setelah diperiksa ternyata bukan jantung.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan Gastro Entero Hepatologis, Hardianto Setiawan Ong, menjelaskan, GERD merupakan kondisi perasaan tidak nyaman atau terbakar bahkan nyeri yang terasa pada dada akibat naiknya asam lambung ke esofagus. GERD umumnya disebabkan oleh tidak berfungsinya lower esophageal sphinchter (LES). LES adalah lingkaran otot pada bagian bawah dari esofagus. LES berfungsi sebagai pintu otomatis yang akan terbuka ketika makanan atau minuman turun ke lambung. Setelah makanan masuk, LES akan menutup untuk mencegah asam dan
makanan yang ada di lambung agar tidak naik kembali ke esofagus. Jika LES menjadi longgar dan tidak menutup dengan baik, asam lambung bisa keluar dari perut dan menyebabkan penyakit asam lambung.
Gejalanya mulai dari lambung sampai ke mulut berupa sensasi terbakar di bagian dada atau nyeri ulu hati yang kadang menuju kerongkongan disertai dengan naiknya rasa asam ke mulut, nyeri dada mendadak, kesulitan menelan, suara serak, sakit tenggorokan, sering sendawa, karang gigi belakang, sinusitis berulang, dan kembung lambung. Kita akan merasa tidak nyaman setelah makan, dan mulut kerongkongan terasa tidak enak.
Penyakit GERD masih terasa asing bagi masyarakat awam. Umumnya penyakit yang berkaitan dengan asam lambung selalu dikira sebagai maag atau asam lambung. Padahal GERD adalah penyakit kronik yang bisa mengakibatkan kanker kerongkongan atau kanker lambung. “Bila berlangsung lama dapat menyebabkan kerusakan pada lapisan kerongkongan sehingga memicu timbulnya erosi, ulkus, perdarahan, hingga kanker kerongkongan,” kata Hardianto.
Karena dikira maag, penanganan GERD pun kerap keliru. Pasien selalu mengonsumsi obat maag, bahkan dalam jangka panjang. Padahal tidak semua pasien GERD membutuhkan obat.
Hardianto yang juga berpraktek di Siloam Hospitals Kebon Jeruk ini mengatakan, setelah minum obat maag pasien mungkin membaik, tapi itu hanya sebentar dan akan kambuh kembali. Bahkan beberapa pasien karena bosan bolak-balik ke dokter, membeli obat sendiri dan mengonsumsinya. Bukannya sembuh, konsumsi yang berkepanjangan justru menyebabkan penyakit makin parah, bahkan bisa menimbulkan tumor di kerongkongan.
“Makan obat maag terlalu banyak mengurangi asam lambung, sehingga lambung rentan terhadap berbagai kuman penyakit,” katanya. Menurutnya, asam lambung berfungsi sebagai disinfektan, seperti pembersih hama. Tidak semua makanan yang masuk ke tubuh itu benar-benar bersih. Bila keasaman di lambung cukup, maka kuman atau bakteri akan mati dengan sendiri. Sebaliknya, kekurangan asam lambung menyebabkan kuman mudah tumbuh di lambung atau pencernaan.
Sebuah survei yang dilakukan terhadap pasien GERD di RSCM menemukan, dari 100 pasien GERD yang mengonsumsi obat, hanya 40 persen di antaranya yang mengalami perubahan pada sakitnya. Sisanya 60 persen sama sekali tidak menunjukkan perubahan, dan setelah diperiksa ternyata bukan menderita GERD, tetapi hanya stres atau sintomatik. Ini bisa diatasi hanya dengan perubahan pola makan dan menghindari hal-hal pencetus stress.
“Dari penelitian ini disimpulkan bahwa tidak semua orang sakit maag memerlukan obat maag. Perlu analisa tepat sehingga penggunaan obat-obatan tidak terlalu banyak dan sembarangan,” katanya.
Pengobatan GERD sebetulnya gampang asalkan diagnosanya tepat, dan edukasi kepada pasien untuk konsumsi obat dengan benar. Sebelum pengobatan, sebaiknya dilakukan diagnosa pH metri impedance, sebuah tindakan untuk mengetahui keasaman, bentuk, dan jumlah reflux yang terjadi. Ini penting agar penanganannya pun tepat.