menganut sistem berjenjang (managed care). Artinya penanganan layanan kesehatan difokuskan pada fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama, seperti puskesmas, klinik atau dokter praktik pribadi.
Apabila membutuhkan pelayanan lanjutan, peserta BPJS Kesehatan tetap bisa berobat ke rumah sakit. Namun, syaratnya yang bersangkutan wajib mendapatkan surat rujukan dari faskes tingkat pertama terlebih dahulu. Akan tetapi, sistem berjenjang yang diterapkan ini tidak berlaku kaku. Ada hal-hal khusus, seperti dalam keadaaan darurat. Saat dalam kondisi ini, peserta bisa langsung mendapatkan pelayanan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS tanpa harus membawa surat rujukan dari faskes tingkat pertama.
Pasien dengan kondisi kegawatdaruratan tidak saja bisa dilayani di Faskes yang telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, namun mereka juga bisa mendapatkan pertolongan medis segera di faskes yang belum menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan. Kondisi kegawatdaruratan yang dimaksud adalah kondisi yang bila tidak ditangani segera maka dapat membahayakan nyawa pasien, dapat menyebabkan kematian atau cacat permanen.
Perlu juga diketahui publik, layanan kegawatdaruratan tidak hanya ada di faskes lanjutan. Kini layanan serupa dalam tingkat keparahan tertentu sejatinya juga bisa ditangani di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) seperti puskesmas. Pasalnya, kini layanan di faskes tingkat pertama terus ditingkatkan pemerintah. Sayangnya, kondisi gawat darurat masih saja menjadi banyak perdebatan karena kurangnya pemahaman dan juga pengetahuan tentang kriteria gawat darurat yang dijamin BPJS Kesehatan.
Selama ini masih banyak peserta BPJS Kesehatan yang belum paham mengenai kondisi gawat darurat medis, sehingga langsung buru-buru mendatangi IGD di RS untuk kasus yang sebetulnya dapat ditangani di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Banyak pasien protes ke faskes tingkat pertama
lantaran tidak mendapatkan rujukan kegawatdaruratan ke RS. Begitu juga saat pasien langsung datang ke RS, mereka merasa ditolak status kegawatdarutan mereka karena didiagnosa berbeda oleh tenaga medis di sana.
Walhasil, pasien bersangkutan pun protes dan menudingadanya pembedaan antara pasien umum dengan BPJS Kesehatan. Padahal, sejatinya BPJS Kesehatan pasti menanggung semua biaya pengobatan peserta asal sesuai prosedur. Adapun diagnosa darurat atau tidak, sudah menjadi domain tenaga medis, untuk memberikan penilaian berdasarkan gejala dan indikasi apakah kasus tersebut termasuk dalam kriteria emergency. Sedangkan ‘penolakan’ yang dilakukan RS tentu bukan karena yang bersangkutan merupakan pasien BPJS Kesehatan. Bisa saja penolakan muncul karena RS tidak menemukan kriteria gawat darurat pada kasus pasien tersebut. Sementara ada pasien lain dalam keadaan emergency yang membutuhkan pertolongan secepatnya, di tengah keterbatasan ruangan.
Di dalam pengelolaan instalasi gawat darurat, RS memang dituntut untuk selektif dan profesional, agar pelayanan tersebut benar-benar dapat dimanfaatkan oleh pasien yang membutuhkan. Bila seluruh pasien bisa dengan mudahnya mengakses layanan ini, dikhawatirkan pasien yang benar-benar dalam keadaan emergency tidak dapat tertangani dengan segera lantaran antrean yang memanjang dan pasien yang membludak. Kendati diagnosa kegawatdaruratan menjadi domain tenaga medis, sejatinya pemerintah juga telah menyusun sejumlah peraturan terkait kegawatdaruratan. Peraturan itu seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan beserta perubahannya, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 71 Tahun 2013 beserta perubahannya, dan lain-lain.
Karena itu, apabila menderita suatu penyakit, sebaiknya tidak langsung panik dan buru-buru mengambil kesimpulan sedang dalam kondisi gawat darurat. Tetaplah tenang dan segera periksakan kondisi kesehatan Anda ke fasilitas kesehatan yang tercantum dalam kartu JKN-KIS Anda.
Tidak perlu khawatir, karena kompetensi para tenaga medis di fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti puskesmas, klinik, dan dokter keluarga juga setara dengan kompetensi tenaga medis di RS.
Apabila Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan karena keterbatasan fasilitas, pelayanan, dan/atau tenaga medis, nantinya peserta tersebut dapat dirujuk ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL). FKTP juga dapat merujuk peserta ke FKRTL menggunakan mobil ambulan dalam rangka evakuasi medis lho! Dan BPJS Kesehatan akan menanggung biaya ambulans tersebut. Jadi, pastikan saja kartu JKN-KIS dalam kondisi aktif dan ikuti semua prosedur!. Peraturan tentang penilaian kegawatdaruratan bisa dibaca di peraturan BPJS nomor 1 tahun 2018